BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengolahan limbah industri merupakan kegiatan yang diperlukan dalam upaya melindungi lingkungan dengan cara meminimalisasi dampak buruk yang disebabkan oleh limbah industri. Limbah industri biasanya selalu membawa dampak negatif terlebih lagi limbah keluaran industri yang melebihi ambang batas lingkungan (badan air). Untuk meminimalisasi dampak buruk tersebut, maka setiap limbah yang dikeluarkan oleh industri perlu dilakukan pengolahan yang tepat dan sesuai agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu cara untuk meminimalisasi dampak pencemaran limbah adalah dengan menghilangkan kekeruhan air limbah melalui pembubuhan sejenis bahan kimia dengan sifat – sifat tertentu yang disebut koagulan, seperti tawas, garam Fe (III), atau suatu polielektrolit organis. Selain pembubuhan koagulan, diperlukan pengadukan sampai flok – flok terbentuk. Flok – flok ini mengumpulkan partikel – partikel kecil dan koloid tersebut (bertumbukan) dan akhirnya sama – sama mengendap.
1.2 Tujuan
• Menghilangkan kekeruhan dalam air limbah
• Menentukan dosis optimum untuk koagulan dan flokulan yang digunakan
• Mengetahui pengaruh penambahan flokulan pada pengendapan
LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
A.
Tabel Data Koagulasi
No.
|
Dosis Koagulan (mg/L)
|
Dosis Flokulan (mg/L)
|
Tinggi Endapan (cm)
|
Volume Endapan (ml)
|
Turbidity/kekeruhan (NTU)
|
pH
|
1.
|
5
|
0
|
13,3
|
62
|
151,4
|
5,12
|
2.
|
10
|
0
|
13,5
|
63
|
151,1
|
5,01
|
3.
|
15
|
0
|
13,1
|
60
|
150,0
|
4,99
|
4.
|
20
|
0
|
13,1
|
58
|
150,3
|
4,97
|
5.
|
25
|
0
|
13
|
58
|
150,0
|
4,95
|
6.
|
30
|
0
|
12,5
|
56
|
149,5
|
4,94
|
B.
Tabel Data Koagulasi - Flokulasi
No.
|
Dosis Koagulan (mg/L)
|
Dosis Flokulan (mg/L)
|
Tinggi Endapan (cm)
|
Volume Endapan (ml)
|
Turbidity/kekeruhan (NTU)
|
pH
|
1.
|
5
|
0,1
|
8,5
|
22
|
152,4
|
5,21
|
2.
|
10
|
0,1
|
9
|
25
|
150
|
5,29
|
3.
|
15
|
0,1
|
10
|
32
|
150,3
|
5,2
|
4.
|
20
|
0,1
|
11
|
39
|
149,9
|
5,14
|
5.
|
25
|
0,1
|
10,1
|
38
|
149,7
|
5,07
|
6.
|
30
|
0,1
|
11,7
|
42
|
149,2
|
5,11
|
LAMPIRAN B
GAMBAR
No.
|
Gambar
|
Keterangan
|
||
1.
|
|
Limbah jamu yang
digunakan pada percobaan ini memiliki kekeruhan awal sebesar 194,41 NTU dan
pH sebesar 5,02
|
||
2.
|
|
Limbah
jamu yang ditambahkan dengan koagulan alumunium sulfat belum terlihat mengalami perubahan pada saat
pengadukan berlangsung
|
||
3.
|
|
Limbah
jamu pada saat di kerucut imhoff setelah pengadukan mulai terlihat adanya
perubahan kekeruhan
|
||
4.
|
1
|
2
|
3
|
Terlihat
adanya endapan pada limbah jamu setelah didiamkan selama 1 jam. Endapan
tertinggi yakni 13,5 cm dengan volume 63 ml dimiliki oleh limbah jamu nomor 2
dengan penambahan tawas 1% sebesar 10
mg/L
|
4
|
5
|
6
|
||
5.
|
|
Tinggi endapan
pada limbah jamu terlihat lebih pendek setelah adanya penambahan flokulan
Aqua clear (poliakrilmida) 0,1% . Endapan tertinggi yakni 11,7 cm dengan
volume 42 ml dimiliki oleh limbah jamu dengan penambahan koagulan paling
besar yakni 30 mg/L dan flokulan sebesar 0,1 mg/L
|
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
4.1 Penentuan
Dosis Optimum Koagulan
Grafik
4.1 Hubungan antara Kekeruhan dengan Konsentrasi Koagulan
Grafik 4.2 Hubungan antara pH dengan
konsentrasi Koagulan
Grafik
4.3 Hubungan
antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan
4.2 Penentuan Dosis Optimum Koagulan Setelah
Penambahan Flokulan 0,1 mg/L
Grafik
4.4 Hubungan
antara Konsentrasi Koagulan dengan Kekeruhan setelah penambahan Flokulan
Grafik
4.5 Hubungan
antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan setelah penambahan Flokulan
Grafik
4.6 Hubungan
antara Konsentrasi Koagulan dengan pH setelah penambahan Flokulan
·
Pembahasan Oleh Theresia Leyster G (101411061)
Limbah
jamu yang digunakan berwarna kuning kecoklatan dengan kekeruhan awal limbah
jamu adalah 194,41 NTU dan pH 5,02. Limbah tersebut mengalami penurunan
kekeruhan setelah adanya penambahan variasi koagulan alumunium sulfat (tawas).
Pada grafik 4.1, didapatkan bahwa penurunan kekeruhan terus terjadi akibat
adanya penambahan koagulan dengan dosis yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan
karena pengotor – pengotor atau koloid limbah tersebut bermuatan negative
sedangkan koagulan tawas bermuatan positif. Sehingga, koloid dan koagulan
tersebut saling tarik – menarik karena adanya perbedaan muatan tersebut dan
membentuk flok – flok yang menyebabkan menurunnya nilai kekeruhan pada limbah
jamu. Namun pada konsentrasi koagulan tawas 20 mg/L, kekeruhan sempat mengalami
kenaikan. Hal ini dapat disebabkan tidak sempurnanya proses pengadukan sehingga
masih ada pengotor yang membentuk flok – flok.
Berdasarkan grafik 4.1 tersebut, maka dosis optimum
koagulannya adalah 30 mg/L. Sedangkan pada grafik 4.4, pada dosis koagulan 30
mg/L didapatkan bahwa limbah jamu setelah adanya penambahan koagulan tawas dan
flokulan poliakrilmida 0,1% memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah. Hal ini
disebabkan karena flokulan berperan sebagai pengikat antara flok yang satu
dengan flok yang lain sehingga flok – flok tersebut bersatu menjadi flok – flok
yang lebih besar dan memungkinkan dapat mengendap lebih cepat.
Perubahan
pH pada proses koagulasi juga mempengaruhi nilai kekeruhan limbah. Sehingga,
perubahan pH juga diamati untuk menentukan dosis optimum koagulan. Pada grafik
4.2, didapatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan maka pH yang
didapatkan pun semakin rendah. Hal ini dikarenakan koagulan tawas yang bersifat
asam sehingga membuat pH limbah semakin menurun. Sedangkan pada grafik 4.5,
didapatkan bahwa pH limbah meningkat setelah adanya penambahan flokulan
poliakrilmida 0,1 mg/L.
Tinggi
endapan hasil proses pengendapan pada kerucut imhoff pada grafik 4.3 yang
didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan maka akan
semakin rendah tinggi endapan yang didapat. Hal ini tidak sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan, maka akan semakin
tinggi endapan yang didapat. Sedangkan pada grafik 4.5 setelah adanya
penambahan flokulan, didapatkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan
maka akan semakin tinggi endapan yang didapat. Dari hasil percobaan yang
didapat, tinggi endapan limbah sebelum adanya penambahan flokulan lebih besar
dibandingkan tinggi endapan pada limbah setelah adanya penambahan flokulan. Hal
ini dapat disebabkan karena pH limbah yang semakin asam seiring penambahan
konsentrasi koagulan sebelum adanya penambahan flokulan. Sehingga, koagulan
mulai memasuki pH yang tidak optimum pada proses koagulasi yang menyebabkan
gagalnya pembentukan flok sehingga koagulan menjadi pengotor dan mengakibatkan
buruknya kualitas air yang dihasilkan serta tingginya endapan yang didapat. Namun
setelah adanya penambahan flokulan, pH limbah pada konsentrasi koagulan 30 mg/L
meningkat sehingga pH koagulan masih dalam rentang pH optimum proses koagulasi.
Sehingga, dosis optimum koagulan tawas yang diambil adalah 30 mg/L.
Gagalnya
percobaan pada proses koagulasi dikarenakan literature tentang pH optimum
koagulan tawas yang didapat dari berbagai sumber berbeda – beda. Hal ini
menyebabkan pada saat pH limbah mulai memasuki 4,9 , kogulan tidak lagi
berfungsi sebagai pembentuk flok malah sebaliknya yakni menjadi pengotor. Hal
ini dapat diantisipasi dengan melakukan proses netralisasi sebelum percobaan
dimulai sehingga rentang pH pada saat proses berlangsung berada pada rentang
yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar