125x125 Ads

Minggu, 20 Januari 2013

Koagulasi - Flokulasi


BAB I PENDAHULUAN 

 1.1 Latar Belakang 

Pengolahan limbah industri merupakan kegiatan yang diperlukan dalam upaya melindungi lingkungan dengan cara meminimalisasi dampak buruk yang disebabkan oleh limbah industri. Limbah industri biasanya selalu membawa dampak negatif terlebih lagi limbah keluaran industri yang melebihi ambang batas lingkungan (badan air). Untuk meminimalisasi dampak buruk tersebut, maka setiap limbah yang dikeluarkan oleh industri perlu dilakukan pengolahan yang tepat dan sesuai agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu cara untuk meminimalisasi dampak pencemaran limbah adalah dengan menghilangkan kekeruhan air limbah melalui pembubuhan sejenis bahan kimia dengan sifat – sifat tertentu yang disebut koagulan, seperti tawas, garam Fe (III), atau suatu polielektrolit organis. Selain pembubuhan koagulan, diperlukan pengadukan sampai flok – flok terbentuk. Flok – flok ini mengumpulkan partikel – partikel kecil dan koloid tersebut (bertumbukan) dan akhirnya sama – sama mengendap. 

1.2 Tujuan
 • Menghilangkan kekeruhan dalam air limbah
 • Menentukan dosis optimum untuk koagulan dan flokulan yang digunakan 
 • Mengetahui pengaruh penambahan flokulan pada pengendapan 



LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN

A.    Tabel Data Koagulasi
No.
Dosis Koagulan (mg/L)
Dosis Flokulan (mg/L)
Tinggi Endapan (cm)
Volume Endapan (ml)
Turbidity/kekeruhan (NTU)
pH
1.
5
0
13,3
62
151,4
5,12
2.
10
0
13,5
63
151,1
5,01
3.
15
0
13,1
60
150,0
4,99
4.
20
0
13,1
58
150,3
4,97
5.
25
0
13
58
150,0
4,95
6.
30
0
12,5
56
149,5
4,94

B.     Tabel Data Koagulasi - Flokulasi
No.
Dosis Koagulan (mg/L)
Dosis Flokulan (mg/L)
Tinggi Endapan (cm)
Volume Endapan (ml)
Turbidity/kekeruhan (NTU)
pH
1.
5
0,1
8,5
22
152,4
5,21
2.
10
0,1
9
25
150
5,29
3.
15
0,1
10
32
150,3
5,2
4.
20
0,1
11
39
149,9
5,14
5.
25
0,1
10,1
38
149,7
5,07
6.
30
0,1
11,7
42
149,2
5,11

LAMPIRAN B
GAMBAR

No.
Gambar
Keterangan
1.


Limbah jamu yang digunakan pada percobaan ini memiliki kekeruhan awal sebesar 194,41 NTU dan pH sebesar 5,02
2.



Limbah jamu yang ditambahkan dengan koagulan alumunium sulfat  belum terlihat mengalami perubahan pada saat pengadukan berlangsung
3.

Limbah jamu pada saat di kerucut imhoff setelah pengadukan mulai terlihat adanya perubahan kekeruhan
4.
1
2
3
Terlihat adanya endapan pada limbah jamu setelah didiamkan selama 1 jam. Endapan tertinggi yakni 13,5 cm dengan volume 63 ml dimiliki oleh limbah jamu nomor 2 dengan penambahan tawas 1%  sebesar 10 mg/L
4
5
6
5.

Tinggi endapan pada limbah jamu terlihat lebih pendek setelah adanya penambahan flokulan Aqua clear (poliakrilmida) 0,1% . Endapan tertinggi yakni 11,7 cm dengan volume 42 ml dimiliki oleh limbah jamu dengan penambahan koagulan paling besar yakni 30 mg/L dan flokulan sebesar 0,1 mg/L



BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Penentuan Dosis Optimum Koagulan
                                                    
               Grafik 4.1 Hubungan antara Kekeruhan dengan Konsentrasi Koagulan


          Grafik 4.2 Hubungan antara pH dengan konsentrasi Koagulan

Grafik 4.3 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan

4.2 Penentuan Dosis Optimum Koagulan Setelah Penambahan Flokulan 0,1 mg/L

Grafik 4.4 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Kekeruhan setelah penambahan Flokulan

Grafik 4.5 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan Tinggi Endapan setelah penambahan Flokulan


Grafik 4.6 Hubungan antara Konsentrasi Koagulan dengan pH setelah penambahan Flokulan


·         Pembahasan Oleh Theresia Leyster G (101411061)
            Limbah jamu yang digunakan berwarna kuning kecoklatan dengan kekeruhan awal limbah jamu adalah 194,41 NTU dan pH 5,02. Limbah tersebut mengalami penurunan kekeruhan setelah adanya penambahan variasi koagulan alumunium sulfat (tawas). Pada grafik 4.1, didapatkan bahwa penurunan kekeruhan terus terjadi akibat adanya penambahan koagulan dengan dosis yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena pengotor – pengotor atau koloid limbah tersebut bermuatan negative sedangkan koagulan tawas bermuatan positif. Sehingga, koloid dan koagulan tersebut saling tarik – menarik karena adanya perbedaan muatan tersebut dan membentuk flok – flok yang menyebabkan menurunnya nilai kekeruhan pada limbah jamu. Namun pada konsentrasi koagulan tawas 20 mg/L, kekeruhan sempat mengalami kenaikan. Hal ini dapat disebabkan tidak sempurnanya proses pengadukan sehingga masih ada pengotor yang membentuk flok – flok.
Berdasarkan grafik 4.1 tersebut, maka dosis optimum koagulannya adalah 30 mg/L. Sedangkan pada grafik 4.4, pada dosis koagulan 30 mg/L didapatkan bahwa limbah jamu setelah adanya penambahan koagulan tawas dan flokulan poliakrilmida 0,1% memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena flokulan berperan sebagai pengikat antara flok yang satu dengan flok yang lain sehingga flok – flok tersebut bersatu menjadi flok – flok yang lebih besar dan memungkinkan dapat mengendap lebih cepat.
            Perubahan pH pada proses koagulasi juga mempengaruhi nilai kekeruhan limbah. Sehingga, perubahan pH juga diamati untuk menentukan dosis optimum koagulan. Pada grafik 4.2, didapatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan maka pH yang didapatkan pun semakin rendah. Hal ini dikarenakan koagulan tawas yang bersifat asam sehingga membuat pH limbah semakin menurun. Sedangkan pada grafik 4.5, didapatkan bahwa pH limbah meningkat setelah adanya penambahan flokulan poliakrilmida 0,1 mg/L.
            Tinggi endapan hasil proses pengendapan pada kerucut imhoff pada grafik 4.3 yang didapat menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan maka akan semakin rendah tinggi endapan yang didapat. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi koagulan, maka akan semakin tinggi endapan yang didapat. Sedangkan pada grafik 4.5 setelah adanya penambahan flokulan, didapatkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi koagulan maka akan semakin tinggi endapan yang didapat. Dari hasil percobaan yang didapat, tinggi endapan limbah sebelum adanya penambahan flokulan lebih besar dibandingkan tinggi endapan pada limbah setelah adanya penambahan flokulan. Hal ini dapat disebabkan karena pH limbah yang semakin asam seiring penambahan konsentrasi koagulan sebelum adanya penambahan flokulan. Sehingga, koagulan mulai memasuki pH yang tidak optimum pada proses koagulasi yang menyebabkan gagalnya pembentukan flok sehingga koagulan menjadi pengotor dan mengakibatkan buruknya kualitas air yang dihasilkan serta tingginya endapan yang didapat. Namun setelah adanya penambahan flokulan, pH limbah pada konsentrasi koagulan 30 mg/L meningkat sehingga pH koagulan masih dalam rentang pH optimum proses koagulasi. Sehingga, dosis optimum koagulan tawas yang diambil adalah 30 mg/L.
            Gagalnya percobaan pada proses koagulasi dikarenakan literature tentang pH optimum koagulan tawas yang didapat dari berbagai sumber berbeda – beda. Hal ini menyebabkan pada saat pH limbah mulai memasuki 4,9 , kogulan tidak lagi berfungsi sebagai pembentuk flok malah sebaliknya yakni menjadi pengotor. Hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan proses netralisasi sebelum percobaan dimulai sehingga rentang pH pada saat proses berlangsung berada pada rentang yang diinginkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More